Rabu, 28 Maret 2012

LELAKI BERCINCIN BATU AKIK

     Siang ini matahari bersinar penuh dendam dan matahari berhasil memprovokasi angin agar tak bertiup, membuat manusia-manusia tersiksa seperti di neraka. satu dua orang tak sabar mengutuk matahari kepada orang di sampingnya padahal mereka belum saling kenal tapi mereka seperti satu kata satu rasa; matahari bersinar dengan keterlaluan.
     tapi bagi pedagang-pedagang es, matahari siang ini adalah pahlawan yang membuat dagangan mereka laris manis. lihatlah aku, ketika turun daru bus di stasiun kota, aku sudah membeli es cendol yang langsung habis ku minum dengan dua tiga kali tegukan. sekarang setelah menunggu setengah jam kereta ke bogor yang belum juga datang aku kembali membeli es cendol yang membuat penjualnya tersenyum kegirangan.
     setelah hampir satu jam menunggu ahirnya kereta dari Bogor datang juga. kereta belum benar-benar berhenti tapi beberapa calon penumpang yang sudah jenuh menunggu melompat ke dalam kereta. tujuan mereka tentu agar mendapat tempat duduk. dan setelah begitu susahnya mereka mendapatkan tempat duduk, tidak mungkin mereka menyerahkan ke orang lain andai ada ibu-ibu hamil atau nenek-nenek berdiri di depan mereka sekalipun!
     setelah kereta berhenti dengan sempurna giliran calon penumpang lain berebut naik padahal di saat yang sama penumpang di dalam kereta hendak turun. bertabrakanlah dua arus manusia yang punya tujuan berbeda. yang satu ingin turun dan melanjutkan peerjalanannya, yang lain ingin buru-buru masuk, mencari tempat duduk. saling dorong, tubruk,sikut, injak dan para pencopetlah yang kegirangan.
     ahirnya aku dapat tempat duduk juga setelah mencari dari satu gerbong ke gerbong lain. dan untunglah sepuluh menit kemudian kereta berangkat juga, kembali ke Bogor. ku beli koran untuk menghilangkan .kejenuhan.
     kereta berhenti sebentar di stasiun Pangeran jaya karta. tak banyak penumpang yang naik lalu kereta kembali bergerak. seorang bapak yang sudah cukup tua celingukan mencari tempat duduk kosong tapi setelah yakin tak ada tempat duduk kosong bapak itu meletakan tas lusuhnya di bawah. di jepit dengan kedua kakinya. mungkin takut ketinggalan kalau di taruh di atas.
     kereta berjalan tak stabil. kadang menghentak ke kanan kadang ke kiri. dengan susah payah bapak itu berpegangan pada besi penyangga. kasihan juga melihatnya. aku masih muda. sudah tiga tahun pulang pergi naik kereta. tanpa berpegangan dengan apapun aku bisa berdiri tanpa terhempas ketika kereta bergoncang.
     Aku sudah bangun hendak memberikan tempat dudukku pada bapak itu tapi setelah melihat jari-jari tangannya yang memegang erat besi penyangga penuh dengan cincin batu akik, aku kembali duduk lagi. penumpang lain paling mengira aku salah menebak stasiun. di kiranya stasiun di depan adalah stasiun pemberhentianku.
     Aku benci pada cincin batu akik. cincin itu mengingatkanku pada Bapak. bapak yang tergila-gila pada cincin batu akik sampai kebutuhan sekolahku dulu di nomor sekiankan.
     mulanya Bapak bukan pengagum cincin batu akik. bahkan bapak tak memiliki satupun cincin seperti itu tapi ketika pembeli di kiosnya makin sedikit Bapak mengeluhkan itu pada paman dan paman memberi bapak cincin sulaiman madu. kata paman cincin itu bisa mengundang orang untuk membeli di kios bapak walau sebelumnya sudah berlangganan di tempat lain.
     selain memakai cincin sulaiman madu, bapak rajin bertanya pada orang. bahkan orang yang baru di kenalpun, tapi tiap hari lewat di kios bapak, di mintai pendapat kenapa kini dagangannya sepi. dari informasi yang di dapat ahirnya bapak tahu, tak jauh dari kiosnya ada kios baru yang menjual barang seperti yang bapak jual dengan harga lebih murah. bapak pun banting harga. mengambil keuntungan sekecil mungkin asal modal terus berputar. stok barang juga di perlengkap. pelanggan-pelanggan lama di hubungi dan di beritahu kalau harga barang yang biasa mereka beli kini turun. ahirnya sedikit demi sedikit pelanggan-pelanggan bapak kembali berdatangan. bahkan makin banyak wajah-wajah baru yang jadi pelanggan. kini kios bapak lebih rame dari sebelumnya. bapak makin percaya dengan cincin sulaiman madu. tiap hari cincin itu di semprotkan minyak wangi. kalau mau ke wc baru cincin itu di lepas.
     setelah berhenti beberapa kali di beberapa stasiun, kereta makin penuh. tak ada ruang kosong sekedar untuk bergerak. lelaki tua itu makin terjepit oleh penumpang lain. makin banyak keringat menetes dari wajahnya. jelas sekali ia sudah sangat lelah. aku benar-benar kasihan padanya dan benar-benar hendak memberikan tempat dudukku pada lelaki tua itu andai saja di jari-jarinya tidak ada cincin batu akik.
     makin lama bapakku makin yakin kalau cincin batu sulaiman madu bisa mendatangkan pembeli yang berarti mendatangkan rizki dan buntutnya bapak tidak merasakan puas hanya dengan satu cincin. bapak butuh cincin lain. cincin yang akan membuatnya terlihat berwibawa dan di segani banyak orang. bapakpun kembali mendatangi paman.
     paman mengenalkan bapak pada cincin batu mirah delima. kata paman semua raja-raja zaman dulu memiliki cincin itu. karena siapapun yang memiliki cincin itu akan terlihat berwibawa. orang yang berniat jahat tiba-tiba gentar.. orang yang punya rasa benci tiba-tiba jadi kagum dan sayang. tapi kali ini paman tidak memberikan cincin itu secara gratis. harus dengan mahar satu juta rupiah. dan dengan tanpa beban bapak membayar mahar cincin itu. padahal dua hari lalu bapak menolak rengekanku yang minta di belikan komputer bekas untuk mempermudah tugas pembuatan skripsiku. aku makin benci.
     Aku kembali memperhatikan lelaki tua itu. ah bukan wajahnya yang ku lihat tapi cincin-cincin di jari-jarinya. di jari kanannya ada tiga cincin dan di jari kirinya ada dua cincin. semua cincin itu memiliki warna yang berbeda. aku tak tahu nama dan kelebihan tiap cincin yang di pakai lelaki itu. andai paman di sini pasti lelaki itu akan menjadi teman bicara yang menyenangkan bagi paman.
     tak terasa kereta sudah hendak memasuki stasiun cilebut. penumpang sudah mulai jarang walau tetap saja tak ada bangku yang kosong. aku segera bersiap untuk turun. ternyata lelaki itu hendak turun juga. kami berdiri berdampingan  di depan pintu kereta.
     "mau turun di sini dik?"
sapaan lembut lelaki itu membuatku tersentak. senyumnya begitu tulus. tak ada dendam dan kebencian sedikitpun walau hampir satu jam setengah berdiri di kereta dan tak ku berikan tempat dudukku padanya. aku mengangguk sambil memberikan senyum terbaikku. sungguh aku menyesal. mestinya tak ku musuhi dia hanya karena di jari-jarinya ada cincin batu akik.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda