Jumat, 02 Maret 2012

Benda bertuah

     Aku baru saja turun dari kereta ketika seseorang mensejajari langkahku di stasiun juanda yang siang itu lengang. jalanku yang terbiasa pelan, kaya pengantin solo kata temanku memudahkan siapa saja mensejajari langkahku terutama bagi mereka yang memang ada perlu.
     "mau kemana mas?"
aku mencoba tersenyum menanggapi pertanyaan orang yang berjalan di sampingku yang sosok wajahnya belum pernah ku lihat sebelumnya.
     "bisa ngobrol sebentar mas?"
aku berhenti menatap wajahnya dan mulai curiga, waspada. maklum ini Jakarta!
     "ada apa?" tanyaku pelan
     "kenalkan, nama saya Adi"
ku genggam juga tangannya yang terulur itu
     "Amir" jawabku singkat
     "terusterang saya lagi susah nih. saya dari Tegal. mau nengok saudara yang di jakarta tapi saya malah kecopetan padahal alamat saudara saya itu ada di dompet"
mimik lelaki itu begitu memelas. yah ini memang jakarta. segala macam bentuk penipuan ada tapi membayangkan kalau benar dia dari tegal, dompet berisi uang dan alamat yang di tuju hilang, betapa kasihannya. dia bisa jadi gelandangan dan mati kelaparan kalau tidak ada yang menolong.
tak lama kemudian lelaki itu mengullurkan sebuah batu kecil berwarna merah.
     "ini pegangan saya mas. batu merah delima. asli."
aku mengambil batu itu. memperhatikannya dengan seksama. sebagai mantan kolektor aneka jimat, aku tahu pasti mana barang asli dan mana yang palsu. lalu aku menyerahkan kembali batu itu tanpa berkomentar.
     "kalau mas mau memberi saya uang sekedar untuk ongkos pulang ke tegal, batu merah delima ini buat mas"
     "berapa ongos pulang ke tegal?"
     "sekitar lima puluh ribu mas"
lima puluh ribu itu angka yang cukup besar apalagi saat tanggal tua begini tapi membayangkan nasib orang ini kalau tak bisa pulang kasihan juga. ahirnya ku keluarkan juga uang lima puluh ribu dari dompetku lalu ku serahkan pada lelaki itu.
     "ini batu merah delimanya mas. saya ihlas buat mas" ucap lelaki itu sambil menyerahkan batu merah di tangannya
     "ini buat saya?"
aku bertanya sekali lagi. lelaki itu mengangguk pasti. sedetik kemudian ku lemparkan batu itu sekuat tenaga. lama batu itu melayang yang kemudian jatuh entah di mana. lelaki itu menatapku tak percaya.
     "kok di buang mas?" tanya lelaki itu heran
     "sudah jadi milik sayakan, boleh dong kalau saya membuangnya"
lelaki itu makin heran. kalau aku tidak berminat dengan batu merah delimanya kenapa aku mau memberinya uang lima puluh ribu? benarkah semata untuk menolong? mungkin kalimat seperti itu yang ada di benak lelaki itu.
     "mas tolong jelasin pada saya kenapa mas membuang batu merah delima itu?"
     "sudahlah mas, pulang saja ke jawa. kalau kelamaan di sini malah nanti uangnya habis untuk makan"
lelaki itu terdiam beberapa saat
     "apa mas curiga itu bukan merah delima asli?" tanya lelaki itu masih dengan rasa penasaran
     "kalaupun asli pasti tetap saya buang juga" jawabku mantap
     "lho memang kenapa?"
aku terdiam beberapa saat
     "kenapa mas?" desak lelaki itu
     "jimat membuat rasionalitas kita tumpul." jawabku ahirnya.
      "maksudnya gimana mas, tolong jelaskan" pinta lelaki itu bersungguh-sungguh.
     "begini, hanya dengan memegang jimat, entah apapun bentuknya itu, tanpa melakukan sesuatu yang masuk akal kita merasa lebih berwibawa, rezeki lebih lancar, di sayang atasan, aman dari gangguan orang. coba pikir, bagaimana mungkin di sayang atasan kalau kinerja kita lebih buruk atau sama dengan karyawan lain?, bagaimana mungkin rezeki lebih lancar kalau kerja malas-malasan, kalau tidak mau meningkatkan produk atau jasa yang kita jual? kalau bangsa kita masih di perbudak jimat, seratus tahun lagipun bangsa ini tidak akan seperti jepang dalam hal kemajuan. padahal jepang seratus tahun lagi sudah tidak bisa di bayangkan seperti apa majunya."
lelaki di depanku termenung
     "satu lagi, jimat di larang dalam islam" ucapku menambahkan
     "kalau mas tidak berminat dengan batu merah delima itu kenapa memberi saya uang lima puluh ribu?"
     "saya cuma mau menolong."
                                                                       ***

     setengah jam sudah aku menunggu di halte taman anggrek tapi bus ac jurusan depok belum juga muncul. kalau siang-siang begini naik bus non ac apalagi penumpangnya penuh, seperti di panggang di atas kuali. karena itu biarpun beberapa kali bus non ac datang aku tak berminat naik.
     "mau kemana bang?"
aku menoleh. seorang lelaki seusiaku telah duduk di sampingku
     "depok" jawabku singkat
     "kenalkan, nama saya Anton"
     "Amir" jawabku singkat namun entah kenapa memori di otakku segera teringat kembali kejadian dua bulan lalu di stasiun juanda di mana ada seorang lelaki yang mengaku dari tegal dan dompetnya kecopetan
     "saya dari bandung bang. sudah dua hari saya menggelandang di jakarta. dompet yang berisi semua uang saya di copet orang. saya tidak bisa pulang ke bandung" ucap lelaki itu yang kemudian mengeluarkan sebuah keris kecil ukuran tiga atau empat centi.
     "ini pegangan saya bang. kalau abang mau....."
belum selesai lelaki itu menyelesaikan kalimatnya sebuah bus jurusan depok non ac berhenti.
     "depok...,depok....depok...."
     "maaf bang bisnya sudah datang" ucapku sambil meloncat ke dalam bus yang sudah penuh sesak itu.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda