Senin, 12 Maret 2012

PENGLARIS

     Bu Joko menghitung uang hasil  warung nasinya sekali lagi dan ketika hasil hitungannya sama dengan hitungan pertama ia mendesah.
'kenapa dari hari ke hari pembeli makin berkurang. padahal sepiring nasi tetap di jual dengan harga seperti dulu walau harga sembakau sudah naik' gumam Bu Joko dalam hati
     "dapat berapa?" tanya pak Joko setelah selesai menutup warung nasinya. dua orang karyawannya sudah di suruh tidur terlebih dahulu agar esoknya bisa bangun pagi-pagi dalam keadaan segar.
     "lebih sedikit dari kemarin" jawab bu Joko lemah
     "ya sudahlah bu, sabar saja. habis mau bagaimana lagi"
     "kalau begini terus kita bisa bangkrut pak"
pak Joko diam. dalam hati dia membenarkan ucapan istrinya.
     "coba nyari penglaris lagi pak" ucap bu joko pelan takut terdengar karyawan yang sedang istirahat di lantai dua.
     "kemana lagi bu?"
kali ini bu joko yang terdiam. ya mesti kemana lagi mencari dukun atau orang pinter
     "dulu waktu pertama buka warung nasi kita suda coba ke mbah syarif. ternyata warung nasi kita sepi. padahal ke Mbah Syarif kita ngasih mahar banyak"
     "kalau lik Warso minta penglaris kemana ya pak?"
sebagai orang Tegal yang membuka usaha warung nasi di Jakarta mereka punya banyak teman dan saudara yang membuka usaha yang sama dengan mereka, yang biasanya di sebut WARTEG (warung tegal).
     "katanya ke Habib Idrus tapi kita juga pernah ke sana. amalan yang habib itu berikan sudah kita lakukan tapi tak ada perubahan. lagian kalau warteg lik Warso ramai wajar bu, di situ ada usaha konveksi dan sablon. karyawan konveksi dan sablon itu makan di warteg lik Warso"
     "kalau ke ustadz Maulana pak?"
pak Joko mengingat-ingat sebentar.
     "yang di mana bu?"
     "itu lho yang mengasuh pengajian jum'at kliwonan"
     "oh yang itu. Bapak belum pernah ke situ tapi katanya mas Darto sudah pernah kesitu. wartegnya malah sudah di jual"
     "Mas Darto yang mana pak?"
     "yang tinggal di kampung sebelah, tetangga lurah Karjo"
     "oh yang itu"
     "bu, besok bapak coba nanya kang Somad ya. lagian sudah lama Bapak ndak kesitu"
     "ya pak, siapa tahu kang Somad tahu ustad atau mbah yang cespleng"
                                                                    ***

     "assalamualaikum"
beberapa pembeli yang sedang makan menoleh. ada yang kembali melanjutkan makannya, ada yang membalas salam sambil memperhatikan orang yang baru masuk itu. tidak biasanya orang yang mau makan masuk mengucap salam.
     seorang gadis yang sedang melayani pembeli memandang ke arah lelaki yang mengucap salam itu.
     "hah Lik Joko?" ucap gadis itu terkejut
     "iya Sih, sudah lama kamu di sini?"
     "baru empat bulan Lik" jawab Narsih lalu mencium tangan Joko dengan takzim. setelah itu kembali melayani pembeli lain.
     "katanya mau nikah Sih, kapan?"
     "habis lebaran Lik. biar pas orang-orang lagi pada di kampung" jawab Narsih sambil tersipu malu
istri Somad dari dapur sudah mendengar Narsih bicara dengan Joko, adik iparnya tapi karena tanggung lagi masak dia tak keluar. barulah setelah masakan matang, istri Somad keluar.
     "ee Joko, sama siapa kesini?" tanya bu Somad
     "sendirian Yu. kang Somad kemana Yu?"
     "lagi ke pasar, beli beras"
     "mau minum apa Lik, kopi, susu, atau teh manis?" tanya Narsih setelah melayani pembeli terahir
     "es teh manis saja Sih"
tak berapa lama kemudian Somad datang dengan sepeda motor. di boncengan motornya ada sekarung beras.
     "ada Joko nih pak" ucap bu Somad ketika suaminya yang sudah selesai menaruh beras tak menyadari kehadiran Joko
     "sudah lama?" tanya Somad sambil mengulurkan tangan mengajak Joko berjabat tangan
     "baru datang kang"
     "ngobrol di atas yuk"
Joko mengangguk lalu mengikuti Somad naik ke lantai atas.
     "Narsih tolong cemilan sama minuman buat Joko di bawa ke atas" ucap Somad pada Narsih yang langsung membawa minuman dan makanan kecil untuk Joko ke lantai atas.
     "sampean minta penglaris ke siapa kang?" tanya Joko setelah  lama mereka terlibat obrolan
     "ke ustad Samsudin di daereh cengkareng"
     "di kasih amalan atau jimat kang?"
     "di kasih jimat. jimatnya harus di taruh di tempat uang"
     "dagangannya jadi rame kang?"
     "biasa aja tapi kalau ndak pake pegangan jimat atau amalan kaya nya kurang mantep. sampean lagi nyari penglaris lagi?"
     "iya kang. ahir-ahir ini dagangan lagi sepi banget. kira-kira kemana ya kang nyari penglaris yang cespleng. yang manjur gitu lho"
     "itu si cocok-cocokan. ga bisa di jamin datang ke si anu dagangan langsung laris manis. kalau sampean mau coba ke ustad Fahmi saja. itu lho yang suka nangkepin hantu"
     "pasti maharnya mahal kang. kan sudah masuk tivi"
     "di coba saja. kalau memang manjur, cespleng saya juga mau kesana"
Joko mengangguk-angguk. ya apa salahnya di coba. soal mahar yang mahal anggap saja modal yang memang harus di keluarkan untuk melancarkan usaha.

     Satu jam lebih Joko memacu motornya menuju daerah tempat tinggal ustad Fahmi namun karena macet di sana sini dia belum sampai juga di tempat tujuan. ketika perutnya terasa lapar dia menghentikan motornya di sebuah warung tegal.
     di dalam warung sudah banyak pembeli yang sedang makan. ada juga beberapa wanita yang sedang membeli nasi bungkus untuk di bawa pulang. memperhatikan begitu banyaknya pembeli membuat hati kecil Joko ngiri. andai saja warung nasinya seramai ini.
Joko memandang ke sekeliling ruangan. ada yang beda dengan warteg ini. biasanya tempat duduk pembeli hanya bangku panjang di kiri dan kanan depan etalase tempat lauk. tapi di tempat ini ada ruangan tersendiri di mana banyak bangku dan meja berjejer rapi untuk makan pengunjung, mirip gaya rumah makan padang.
ruangan warteg ini begitu rapi. begitu enak di lihat. pakaian pedagang dan karyawannya juga terlihat rapi dan bersih, tidak seperti di warteg-warteg lain yang pakaiannya kumal dan penuh noda masakan.
     saat memesan makanan Joko memperhatikan lauk yang tersedia dan dia tercengang, lauk pauknya begitu banyak, begitu lengkap. membuat muncul selara makan kita.
Joko lebih terkejut lagi saat membayar makanan yang ia makan. sebagai pedagang warteg yang sudah puluhan tahun, dia bisa mengira-ngira berapa harga yang mestinya ia bayar dan ternyata di warteg ini jauh lebih murah.
     Joko memutar motornya, bukan lagi kearah tempat tinggal ustad Fahmi tapi  kearah pulang ke rumahnya. ia merasa tidak lagi membutuhkan jimat penglaris. ia hanya perlu merombak ruangan wartegnya. membuat lauk selengkap dan semurah mungkin dan segudang ide lainnya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda