Senin, 05 Maret 2012

UANG BERANAK

     Hari mulai gelap ketika Damiri mengayuh becaknya menuju rumah. dulu waktu masih muda, saat malam tiba dia akan mangkal di depan stasiun menunggu kedatangan kereta dari jakarta. lumayan kalau pas dapat penumpang yang sudah lama tidak pulang kampung. karena tidak tahu harga, mau membayar dengan ongkos lebih mahal. kalau tidak Damiri akan mangkal di depan mal tapi kini tubuh tuanya tak lagi bisa di ajak bekerja sampai malam.
     "mau minum dulu atau mau langsung makan pak?" tanya istri Damiri saat melihat suaminya pulang.
     "minum aja dulu bu"
Damiri menjatuhkan tubuhnya di kursi panjang yang sudah lapuk di makan usia
     "ini pak, minum dulu kopinya"
Damiri mengangguk lalu meminum sedikit kopi yang masih panas itu
     "si Jenab sudah tiga hari tidak sekolah pak, katanya malu di tagih bayaran terus"
Damiri mendesah panjang. begitu berat rasanya beban hidup yang ia tanggung. terbayang wajah jenab anak bungsunya. dari kecil anak itu menunjukan kecerdasan yang berbeda dengan kakak-kakaknya. saat usianya belum genap empat tahun dia sudah bisa menghapal enam surat pendek dalam Al qur'an. haruskah anak secerdas itu tidak menyelesaikan pendidikan sekolah dasarnya seperti ketiga kakaknya?
     "nanti bapak usahakan bu" ucap Damiri getir. matanya menatap ke depan tapi dengan pandangan kosong. sama sekali tak memperhatikan tembok rumahnya yang sudah retak dan mengelupas di sana sini.
                                                                            ***

     "saya juga sudah bosan hidup susah begini kang. kebetulan saya dapat kabar dari saudara saya di kampung sebelah katanya dia mengenal orang pinter yang bisa membuat kita kaya dengan cara menggandakan uang kita" ucap Santo saat mendengar keluhan Damiri, teman seprofesinya.
     "masa si ada orang yang bisa seperti itu?" tanya Damiri ragu
     "namanya juga orang pinter kang, orang sakti. jadi dia bisa membuat uang kita beranak pinak" jawab Santo meyakinkan rekannya.
     "lusa saya mau ke tempat orang itu kang. saya juga ndak mau langsung percaya. saya mau lihat buktinya dulu. kalau sampean mau ikut nanti berangkat bareng" lanjut Santo.
     "saya ikut deh, coba-coba"
     "jangan lupa bawa uang yang mau di gandakan kang"

     Ketika malam tiba Damiri telah memakai pakaian paling bagus yang ia punya. lalu ia mengambil uang dari tumpukan paling bawah bajunya. itu uang hasil penjualan 3 ekor ayamnya, di tambah uang hasil meminjam.
tak lama kemudian Santo sudah datang menjemput dengan sepeda ontelnya.
     "sudah siap kang?" tanya Santo saat melihat temannya keluar dengan pakaian rapi
     "sudah. ayo berangkat" jawab Damiri sambil naik di boncengan sepeda Santo.
dengan sepeda ontel itu mereka melewati jalan-jalan setapak, menuju desa sida mulya, sebuah desa yang terletak di kaki bukit.
kadang terpaksa mereka menuntun sepeda itu ketika melewati jalan rusak dan berlubang di sana sini. keringat mulai membasahi tubuh mereka tapi bayangan hidup enak dengan uang bertumpuk-tumpuk membuat semangat mereka tetap menyala.
     setelah mengayuh sepeda setengah jam lebih ahirnya sampai juga mereka di rumah yang di tuju. seorang lelaki setengah baya dengan perut buncit menerima mereka.
     "jadi begitu mbah, saya dengar mbah bisa membuat duit kami beranak pinak" ucap Santo setelah menceritakan kesulitan ekonomi yang sedang mereka hadapi. lelaki dengan pakaian hitam-hitam itu mengangguk-angguk.
     "baik. saya akan bantu membuat uang kalian beranak pinak, menjadi banyak. tapi ada saratnya. setelah kalian kaya, kalian tidak boleh sombong dan harus rajin sodakoh"
Santo dan Damiri mengangguk pasti. ucapan lelaki itu malah membuat mereka makin yakin kalau dengan bantuan orang itu uang mereka akan beranak pinak dan mereka menjadi kaya. mereka sama sekali tak menyadari kalau keadaan rumah orang itu sama memprihatinkannya dengan rumah mereka.
     "sekarang kalian serahkan uang yang kalian bawa biar saya simpan. lusa kalian kesini lagi untuk mengambil uang kalian dengan 'anak-anaknya' "
lalu seperti orang yang sedang berlomba adu cepat, Santo menyerahkan uangnya seratus ribu, di ikuti Damiri yang menyerahkan uangnya seratus lima puluh ribu.
     Sepanjang perjalanan pulang mereka lalui dengan kegembiraan. jarak lima kilo meter yang harus di tempuh dengan jalan yang rusak dan penuh lubang, mereka rasakan seperti berjalan di tempat yang indah, yang kanan kiri jalan menyajikan pemandangan yang mempesona.
     Waktu adalah sesuatu yang absurd. saat kita sedang menunggu sesuatu atau saat kita lagi susah waktu seakan berjalan begitu lambat tapi ketika kita sedang bahagia, sedang menikmati sesuatu yang menyenangkan, waktu berjalan begitu cepat.
begitulah yang Santo dan Damiri rasakan. menunggu hari yang telah dukun itu janjikan seperti menunggu selama ribuan tahun dan ketika hari itu tiba juga, mereka seperti menjadi orang yang paling bahagia di dunia.
     Hari masih sore  ketika Damiri dan Santo tiba di rumah dukun itu.  Lelaki berpakaian serba hitam itu
tersenyum menyambut Damiri dan Santo. sepertinya ia maklum kalau tamu-tamunya sudah tak sabar ingin melihat uang mereka yang telah beranak pinak.
     "ini uang kalian. yang menyimpan seratus ribu, uangnya jadi dua ratus ribu. yang menyimpan seratus lima puluh ribu uangnya menjadi tiga ratus ribu"
Damiri dan Santo mengambil bagiannya masing-masing.
     "kalau kalian mau cepat kaya besok datang lagi kesini. simpan uang yang banyak, jangan cuma seratu duaratus ribu"
     "baik mbah. besok kami akan kesini lagi" jawab Santo dan Damiri berbarengan.
                                                                       *
     "bu, kita akan kaya" ucap Damiri ketika istrinya datang menyambut
     "ini, uang kita sudah beranak pinak"
di keluarkannya uang tiga ratus ribu. bu damiri menatap uang itu dengan tatapan tak percaya.
     "ini benar uang kita? benar uang kita di tangan orang sakti itu bisa beranak pinak?"
Damiri tersenyum tak menjawab pertanyaan istrinya. uang tiga ratus ribu di depan mereka merupakan jawaban yang pasti atas keraguan istrinya.
     "bu, saya akan menjual becak kita. ibu kumpulkan semua barang lain yang bisa di jual"
     "lho buat apa di jual semua pak?" tanya bu damiri masih tak mengerti
     "dukun itu berpesan kalau mau cepat kaya kita harus menyimpan uang yang banyak bu"
setelah paham bu damiri mengumpulakan semua barang yang bisa di jual. semangatnya berkobar membayangkan uang yang di simpan akan bertambah dua kali lipat hanya dalam tempo satu dua hari.
lalu di juallah becak, lemari yang masih layak pakai, beberapa pakaian yang masih agak baru, piring, kompor dan perkakas dapur lainnya. biarlah untuk satu dua hari mereka makan dengan membeli nasi di warung ujung jalan.
setelah semuanya terjual terkumpulah uang dua juta rupiah.
Santopun di rumah melakukan hal sama, menjual becak dan barang-barang lainnya. lalu bersama-sama mereka menuju ke rumah dukun sakti itu. ternyata di rumah dukun itu sudah ada orang lain yang punya kepentingan sama dengan mereka, 3 orang lelaki dan 2 orang wanita.
                                                                         ***

     Di bawah penerangan sinar bulan yang tidak terlalu terang, lima orang lelaki dan dua orang wanita duduk bersila. di depan mereka sebuah lubang menganga.
bau dupa kemenyan menambah mistisnya suasana, lalu perlahan mereka membaca mantra
     Duitku duit urip
     Sing bisa nganak dadi akeh
     Kersaning gusti Allah
     Gawe makmur selamane
kemudian mereka menahan nafas sambil membaca sholawat tiga kali.
     "cukup. sekarang buka mata kalian"
merekapun membuka mata. seorang lelaki berpakaian serba hitam duduk bersila di depan mereka
     "ritual terahir, kalian harus meminum air mantra ini. setelah meminum kalian akan tertidur sebentar. saat bangun nanti kalian akan melihat tumpukan uang di dalam lubang besar itu. kalian harus membaginya sama rata dan jangan lupa sodakoh pada orang-orang tak punya"
lalu lelaki itu mengedarkan air minum dalam teko itu. satu persatu mereka minum dengan gelas yang sudah di sediakan. namun beberapa menit setelah meminum air itu tubuh mereka bergelimpangan. sepertinya bukan tidur karena ada busa keluar dari mulut mereka.
tanpa memeriksa lagi, apakah mereka sudah meninggal atau belum lelaki itu menyeret tubuh-tubuh yang bergelimpangan itu lalu memasukannya ku lubang yang telah di siapkan. dengan tatapan yang sangat dingin dan raut wajah yang tidak menampakan ekpresi apapun di timbunnya lubang penuh tubuh manusia itu dengan tanah sampai rata.

     Sudah empat hari bu damiri resah, suaminya belum juga pulang. padahal uang yang di tinggalkan suaminya untuk makan sehari-hari sudah hampir habis.
ketika hari ke tujuh setelah kepergian suaminya seorang polisi datang mengabarkan pada bu damiri kalau suaminya termasuk salah satu dari tujuh orang korban pembunuhan seorang dukun.

*terinspirasi dari kisah pembantaian yang di lakukan oleh dukun Usep tahun 2007.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda